Bagaimana Indonesia Belajar dari Sistem Pendidikan Terbaik Dunia, Finlandia?

 
PISA (Programme for International Student Assessment) adalah suatu lembaga internasional yang mengukur kemampuan siswa di seluruh dunia. Cara kerjanya bisa dilihat di video di bawah ini.
Tahun 2000 lalu, PISA mengeluarkan hasil evaluasinya mengenai kualitas anak-anak berumur 15 tahun untuk kompetensi membaca. Dari 40 negara, ternyata diketahui bahwa anak-anak Finlandia memiliki kemampuan membaca paling baik di dunia. Tiga tahun kemudian, negara ini menghasilkan anak-anak berkemampuan Matematika terbaik di dunia. Tahun 2006, Finlandia merupakan salah satu dari 57 negara terbaik di bidang Sains. Tahun 2009, negara ini menjadi yang terbaik kedua di Sains, ketiga di Membaca dan keenam di Matematika diantara hampir setengah juta jiwa siswa di dunia

Apa rahasia mereka?





Infografis di bawah ini akan sangat membantu.
Please Include Attribution to OnlineClasses.org With This Graphic
Finnish Education Infographic
Bisa dilihat bagaimana sistem pendidikan di Finlandia dilakukan. Sistem rasio antara guru dan murid sangat ideal sekali: 1 banding 12 dengan jumlah siswa sekitar 600.000 orang. Bandingkan kemudian dengan Amerika (1 banding 24, dengan jumlah siswa hampir 1.1 juta orang) dan Indonesia. Di Indonesia, jumlah kelas masih sangat besar. Satu kelas bisa berisi 30 bahkan 50 orang. Sangat tidak mungkin bagi seorang guru mampu memberikan kemampuan terbaiknya untuk setiap siswa secara merata. Di Finlandia, siswa yang dianggap perlu tambahan atau berkebutuhan khusus, diberikan pelajaran khusus pula. Di Indonesia, sifatnya masih sangat sporadis dan personal - bukan dari pemerintah. Yang ada malah perlombaan les privat dan si anak kehilangan waktu untuk menikmati hidupnya sebagai anak kecil.

Selanjutnya, penerapan tes standar terpusat sangat minim di Finlandia. Ini memberikan otonomi seluas-luasnya kepada masing-masing lembaga untuk berkembang dan mengeluarkan kompetensinya. Jika menilik teori Multiple Intelligence dari Howard Gardner, masing-masing individu akan memiliki kemampuan yang beragam. Ada yang menonjol di Matematika, ada yang di Bahasa, atau ada juga yang di Olahraga (lebih lanjut bisa dibaca di sini atau di sini). Di Indonesia, Ujian Nasional masing diterapkan dan menjadi momok menakutkan bagi siswa. Karena UN hanya mengukur beberapa mata pelajaran saja dan sangat product-oriented. Jangan salahkan banyak anak, orang tua bahkan guru yang berusaha mencari segala cara untuk 'lolos' dari UN ini. Banyak aktivis dan penggerak pendidikan di Indonesia kemudian mengajukan petisi untuk "Stop UN!" Jika ada kawan yang tertarik mendukung, bisa menuju tautan "Hentikan UN sebagai Syarat Kelulusan! dan Stop Ujian Nasional."

Yang terakhir menurut infografis itu adalah bagaimana pandangan masyarakat terhadap profesi guru. Selain karena kualitas guru berstandar level master (magister), di Finlandia, guru mendapat pandangan sama seperti dokter dan pengacara. Artinya, profesi tersebut cukup dihormati. Di Indonesia, seperti kita ketahui bersama, profesi guru masih belum demikian. Selain isu kesejahteraan, status guru di mata masyarakat Indonesia yang cenderung hedonis dan penganut paham aristrocracy ini belum dianggap sama dengan dokter, misalnya. Harus disadari, guru, seperti profesi lainnya, juga memiliki keunikannya. Gurulah yang menanamkan fondasi ilmu ke anak-anak bangsa, ke berbagai profesi yang ada, bahkan ke Presiden dan pejabat lainnya. Meski ada upaya meningkatkan kesejahteraan - termasuk tentu saja kompetensi dan profesionalisme - saya berani bilang upaya ini belum optimal. Banyak penyebabnya, salah satunya praktik-praktik kotor di lingkungan kita sendiri. Korupsi yang masih menggurita, kolusi yang semakin meluas dan nepotisme yang kasar.


Sebagai tambahan, video ini bisa membantu memahami bagaimana sistem pendidikan di Finlandia dilakukan.
Bagaimana hal ini harus disikapi?

Disaat banyak orang dan pemerintahan pusat yang tidak peduli, tentu kita tidak boleh patah semangat. Banyak cara-cara kecil dan lokal yang masih tetap bisa dilakukan. Sekarang, mari mulai dengan coba melihat sistem pendidikan di Singapura, negara yang dekat dengan Indonesia.
Tentu akan ada yang mendebat hal ini. Infrastruktur di Indonesia belum bisa secanggih ini. Tidak banyak ada komputer dan LCD di tiap-tiap ruangan kelas Indonesia saat ini. Namun, siswa-siswa sekarang kebanyakan punya mobile devices. Di kota-kota besar paling tidak. Di perangkat tersebut, mereka memiliki paket data yang memungkinkan mereka aktif di media sosial, seperti Facebook. Twitter, Path, Instagram, Line, WeChat, Viber, BBM, Kakao, Tango dan seterusnya. Bahkan para CEO produk-produk ini mengakui, Indonesia adalah pasar potensial produk mereka. Coba saja lihat statistik pengguna Facebook ini. Nomor berapakah Indonesia? (Cek juga untuk Twitter, YouTube, Google+ dan LinkedIn). Bisa dilihat kemudian media sosial apa saja yang paling populer di Indonesia. Analisa lebih lanjut misalnya, mengapa Indonesia tidak menggunakan LinkedIn semasif Facebook. Ini bisa dilihat dari karakter kultur, environment lingkungan, dan seterusnya.

Siswa saat ini disebut dengan 21st Century Learners, pelajar abad 21. Cirinya, mereka bisa mendapatkan informasi dan jawaban tidak hanya dari satu sumber, misal dari gurunya saja. Mereka bisa google materi dan menemukan jawaban dan apa yang mereka perlukan. Dalam sepersekian detik, "mbah google" begitu sering disebutnya, sudah bisa memberi jawaban. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa mereka cenderung menggunakan sekitar 5 - 10 tautan yang diperoleh dari halaman pertama hasil search di Google saja? Mengapa mereka cuma copy-paste (kemudian terkait dengan plagiarism dan academic dishonesty)? Yang paling menarik, mengapa siswa-siswa sekarang bahkan tidak memanfaatkan teknologi yang nyata-nyata ada di 'tangan' mereka untuk belajar memahami ilmu, namun lebih pada social media?

Saya menemukan bahwa hal ini disebabkan karena pengaruh sistem pendidikan kita seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Sistem di Indonesia masih sangat teacher-centred, transmitif-pasif yang kemudian erat berhubungan dengan pengaruh dan cara pandang budaya masyarakatnya. Siswa banyak yang menunggu dan hanya berpikir hasil saja. Tapi jangan salah, ini terjadi pada banyak negara juga, misal negara di Asia (kecuali yang sudah maju seperti Jepang, Korea Selatan atau Singapura). Siswa-siswa di negara-negara Timur Tengah juga terdapat isu ini meski ada hal spesifik lainnya yang membedakan dengan siswa di Asia.

Hofstede pernah meneliti sekitar 40 negara mengenai hal ini. Ia menemukan ada 5 dimensi sosial yang mempengaruhi suatu sistem pikir dan perspektif masyarakatnya, yaitu Power/Distance (PD), Individualism (IDV), Masculinity (MAS), Uncertainty/Avoidance (UA) dan Long Term Orientation (LTO). Temuannya sangat menarik dan digunakan di berbagai belahan dunia. Secara ringkas, dimensi ini bisa dibaca di tautan ini.

Di budaya Indonesia, Jawa misalnya, konsep-konsep kultural seperti manut-lan-minurut (menurut/mengikuti yang dituakan), éwuh-pekéwuh (segan; sungkan) dan sabda-pendita-ratu (petunjuk 'raja' atau yang disegani) menjadi pedoman hidup banyak orang. Menjadi cara pikir masyarakat secara umum (lebih lanjut baca tulisan dari Dardjowidjojo, 2001). Di Bali ada juga. Misalnya, koh ngomong (malas berbicara; berdebat), sekadi merebut balung tanpa isi (seperti berebut tulang tanpa daging; memperebutkan sesuatu tanpa hasil) dan de ngaden awak bise, depang anake ngadanin (pola pikir jangan menyombongkan diri, biarlah orang lain yang menilai diri kita) menjadi panutan banyak individu (lebih lanjut baca tulisan dari Santosa, 2012). Saya yakin di daerah lain di Indonesia ada juga pandangan seperti ini dengan nama berbeda. Saya bahkan menemukan kalau hal semacam ini juga ada di Thailand dan Vietnam. Ekspresi "Jangan menabuh drum terlalu kencang" sangat mirip dengan ekspresi "De ngaden ..." tadi. Ini memang ciri masyarakat yang menganut paham 'Collectivism'. Tidak salah memang, namun dalam konteks tertentu tidak bisa digunakan. Dimensi Hofstede tadi bisa dirujuk kembali.

Untuk mengatasi hal ini, paradigma belajar di kelas-kelas ini harus dirubah. Dari pembelajaran yang bersifat memberi dan didaktif menjadi yang bersifat menemukan, bertanya dan mencari. Jika siswa sudah memiliki 'teknologi dalam genggaman' mereka, sekarang guru hanya perlu memfasilitasi saja; mengarahkan ke proses-proses berpikir kritis dan kreatif. Tanamkan bahwa tidak ada jawaban paling benar di dunia ini, apapun bisa digunakan asal dilengkapi dengan alasan. Nah, kemampuan memberi alasan ini yang harus dilatihkan. Ganti pertanyaan di kelas dengan 'How' dan 'Why' untuk melatih mereka berpikir lebih jauh dari hanya sekedar menjawab berdasarkan ingatan saja. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang 'HOT' (Higher Order Thinking). Saya yakin bisa.

Posting Komentar